Saat berlangsung persoalan dugaan tindak pidana, seorang tersangka atau terdakwa biasanya didampingi pengacara.
Tak jarang, dalam benak penduduk tersirat pertanyaan mengapa pengacara tetap membela orang yang salah.
Pertanyaan berikut terlihat lantaran tersangka atau terdakwa kelihatan benar-benar jalankan kesalahan, meski pengadilan belum menjatuhkan putusan.
Lantas, mengapa pengacara selalu membela orang yang salah?Hak tersangka dan terdakwa Tersangka atau terdakwa miliki hak untuk didampingi oleh pengacara perceraian jakarta barat atau penasihat hukum.
Hal ini cocok dengan Pasal 54 dan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni: Pasal 54 KUHAP “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat pemberian hukum berasal dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam kala dan terhadap tiap tiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
” Pasal 55 KUHAP “Untuk memperoleh penasihat hukum berikut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak pilih sendiri penasihat hukumnya.” Sementara itu, definisi tersangka sendiri adalah seseorang yang gara-gara perbuatan atau kondisi berdasarkan bukti permulaan, patut dianggap sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan, terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
Penasihat hukum apalagi sanggup di sajikan oleh negara andaikan tersangka atau terdakwa dianggap jalankan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati maupun penjara 15 tahun atau lebih. Negara melalui pejabat terkait terhitung perlu menunjuk penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih namun tidak mampu.
Mengapa membela orang yang salah?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat, pengacara atau advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum. Dalam menggerakkan tugas profesinya, pengacara dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan model kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
Namun dalam Pasal 3 huruf a Kode Etik Advokat, mereka sanggup menampik gara-gara tidak cocok dengan keahlian atau bertentangan dengan hati nurani. Adapun berkenaan membela orang yang bersalah, hukum acara pidana menganut asas praduga tak bersalah.
Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan perlu dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang membuktikan kesalahannya dan sudah memperoleh kemampuan hukum tetap.”
