Indonesia harus bisa menghimpit Uni Eropa dan Amerika Serikat soal patokan harga minyak sawit mentah (CPO).
Selama ini patokan harga CPO justru memakai ringgit Malaysia dan bukan rupiah. Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Golkar Siswono Yudhohusodo mengatakan, pemerintah Indonesia bisa menyuarakan pendapat selanjutnya didalam perhelatan KTT APEC Oktober mendatang.
“Selama ini Indonesia jadi negara terbesar didalam mengolah kelapa sawit sejak lima tahun terakhir. Namun patokan harga CPO dunia tambah memakai ringgit Malaysia, bukan rupiah
Ia menilai dikarenakan KTT APEC dapat berlangsung di Indonesia, maka bisa jadi momentum bagi Indonesia untuk menghimpit Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Sebab, pemerintah Indonesia sudah berhasil memasukkan isu tentang produk kelapa sawit yang sepanjang ini dinilai sebagai produk yang tidak ramah lingkungan. Sebagai negara terbesar produsen CPO global palm tree , Indonesia bisa mengolah CPO di tahun ini sebesar 25 juta ton.
Sementara Malaysia hanya 18,9 juta ton. “Sebagai pemain terbesar, Indonesia selayaknya lebih dominan didalam komoditas ini. Konsumsi minyak kelapa sawit di dunia sendiri meningkat sebanyak 7 prosen setiap tahunnya.
Harusnya Indonesia lebih agresif,” tuturnya. Harga minyak kelapa sawit dunia kini sudah melebihi dua kali lipat ongkos produksinya didalam lebih dari satu tahun terakhir. Hal ini yang tidak berlangsung dengan komoditas lainnya di Asia sepanjang lebih dari satu dekade.
Saat ini, komoditas nabati dunia didominasi oleh tiga jenis komoditas, yaitu sawit, canola, dan soybean (Kacang Kedelai). Pasar sawit mayoritas terkandung di Asia, komoditas Canola mayoritas terkandung di Eropa, dan mayoritas komoditas soybean terkandung di Amerika.
Menurut Siswono, sementara ini komoditas sawit lebih kompetitif dan efisien, jika dibandingkan dengan komoditas canola dan soybean. Karena itu, Siswono menduga dikarenakan alasan itulah Amerika dan Eropa menghimpit pasar sawit di Asia.
“Ketakutan itulah yang menyebabkan Amerika dan Eropa menghindar komoditas sawit,” ujar Siswono.
Bagi Indonesia, ekspor CPO jadi pendorong utama kinerja ekspor non-migas pada Mei 2013. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Mei 2013 ekspor lemak dan minyak hewan/nabati Indonesia naik 311,9 juta dollar AS, dari 1.400,4 juta dollar AS pada April 2013 jadi 1.712,3 juta dollar AS.
“Sebagai tuan rumah APEC selayaknya Indonesia bisa lebih tegas. Tidak harus malu-malu jadi pemimpin di bidang yang didominasi oleh Indonesia. Apalagi CPO adalah penyumbang devisa ekspor,” tegasnya.