Home Fashion Alasan Kenapa Lebih Banyak Perempuan Daripada Laki-Laki yang jadi Penjahit Baju

Alasan Kenapa Lebih Banyak Perempuan Daripada Laki-Laki yang jadi Penjahit Baju

171
0

 

Profesi penjahit baju sampai kini tetap selalu didominasi kaum pria, meski pekerjaan ini berasal dari segi historis banyak digeluti kaum hawa. Belakangan ini, penjahit pria terasa lebih mendominasi. Terlebih ulang justru para ibu tempat tinggal tangga lebih puas menjahitkan pakaiannya oleh penjahit pria.

Memang belum dulu saya menemukan penelitian perihal ini, mengapa penjahit pria mendominiasi? Tapi, faktanya demikian.

Dulu, tatkala kita tetap kecil, mungin dulu mendengar kursus menjahit yang dibuka instansi pendidikan keterampilan. Pesertanya umumnya berasal dari grup perempuan. Belum ulang sejumlah sekolah kejuruan membuka keterampilan menjahit karena sebenarnya profesi ini menjanjikan penghasilan memadai untuk menopang kehidupan (rumah tangga).

Profesi menjahit (tailor) pun kini mampu dibedakan. Penjahit butik, yaitu penjahit khusus bagi kalangan tertentu. Di penjahit ini terhitung dijual bahan pakaian dan pakaian tergolong eksklusif. Model penjahit seperti ini mampu dijumpai di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Di kawasan ini pula yang menonjol para pengelolanya adalah berasal dari pria berasal dari India.

Pada tempat tinggal jahit yang disebut butik itu, tak hanya pakaian tergolong “wah” dan type “up to date” atau terbaru, terlihat jahitannya tergolong halus dan kuat. Di butik itu pula banyak diproduksi pakaian berdasarkan pesanan, tidak produksi di dalam wujud massal.

Sedangkan pakaian yang dijahit secara massal disebut garmen. Jenis pakaian inilah yang banyak diekspor ke beraneka negara tujuan. Namun belakangan ini cara pengerjaan pakaian secara massal ini mengalami perubahan dan pergeseran. Tidak ulang di di dalam satu gedung besar, seperti pabrik.

Ada perusahaan garmen membagi pekerjaannya ke beberapa tempat tinggal tangga. Di sini pekerjaan menjahit dikerjakan beberapa lelaki di tempat tinggal dan sehabis selesai, pakaian rampung pekerjaannya, terhitung pemasangan label di kerah,  lalu dikirim ke perusahaan garmen kembali.

Perusahan garmen tak ulang mempekerjaan penjahit di satu tempat, di dalam kuantitas tenaga banyak. Tetapi dibagi ke beberapa tempat tinggal tangga. Hal ini banyak berlangsung di seputar kawasan Tanah Abang, seandainya Kota Bambu. Di lokasi itu, banyak orang mengontrak tempat tinggal dan mengerjakan jahitan secara massal, seandainya pakaian seragam sekolah, mukena sampai pakaian muslim sekalipun dikerjakan.

Lalu, bagaimana penjahit di sejumlah pasar yang banyak dilakoni kaum pria. Dari segi fisik dan perlakuan menangani pekerjaan, paham lebih mengarah ke butik. Sebab, para penjahitnya tidak menentukan type atau kain yang dapat diproduksi.

Mereka menjahit pakaian berdasarkan permintaan, terasa berasal dari model, berasal dari segi potongan jahitan sampai bahan dibawa sendiri oleh si pemesan.

Di kawasan Kramat Jati, Kramat Jati, Jakarta Timur, penulis menjumpai para penjahit. Yang menarik, penjahitnya umumnya kaum pria berasal berasal dari Sumatera Barat (Sumbar).

Mereka menyebut dirinya penjahit padang. Entah kapan pasar ini didominasi penjahit berasal dari kalangan Minang. Namun mereka bekerja profesional.

Mereka mengaku daerahnya sebenarnya mempunyai batik khas Minang, tapi tidak sepopuler berasal dari Jawa. Namun, disaat diminta untuk menjahit batik, – untuk pria dan wanita, – bersama dengan type berasal dari tempat mana pun, sanggup. Penjahit berasal dari tempat ini sebenarnya tergolong jempolan.

Para penjahit tengah santi. Saat menjelang hari besar keagamaan dan kampanye partai, kebanjiran pesanan. Foto | Dokumen Pribadi.

Ini bukan memuji. Coba lihat pernyataan Iwan, asal Bukittingi. Ia telah ahli menjahit sejak usia muda, 17 tahun. Ia belajar menjahit bukan karena terpaksa, tapi karena lingkungan anggota keluarganya pandai menjahit. Ia belajar berasal dari lingkungannya secara otodidak.

Di Bukittinggi ada batik, tapi di sana lebih terkenal pakaian bordil yang dikerjakan para ibu tempat tinggal tangga. Bordir berasal dari Padang bisa saja cuma mampu beradu bersama dengan bordir berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat.

Memang terhadap hari Senin dan Kamis, di kawasan Tanah Abang, tepatnya di depan Stasiun Kereta Api Tanah Abang digelar penjualan pakaian bordir berasal dari Tasikmalaya. Pembelinya, wuih “bejibun”.

Jika saja jarak berasal dari Bukittinggi dekat, tidak mustahil pakaian bordir berasal dari Padang mampu “mejeng” di tempat yang sama. Bisa jadi pesaing utama.

Lantas, mengapa kaum hawa, para ibu, lebih puas pakainnya dijahitkan bersama dengan kaum pria?

Bisa jadi karena para penjahit Minang – seperti di kawasan Pasar Kramat Jati itu, – lebih ramah sementara memberi pelayanan. Ia tidak mendikte konsumen atau pemberi pekerjaan, tapi lebih fokus terhadap kualitas pelayanan.

Sedangkan penjahit wanita terkesan lebih menentukan siapa yang dilayani. Kalau kelihatan kantong kurang tebal, terlihat rada merengut. Ia tidak memasang konsumen sebagai raja. Tapi, ini tentu tidak semua.